Birds Of Prey: and the Fantabulous Emancipation of One
Harley Quinn
(Perempuan
Dan Perlawanan Pada Stigma Patriarki)
![]() |
image from google |
Bermula dari rasa suntuk selama masa
karantina akibat Covid-19, saya mencoba untuk mengisi masa sulit ini dengan
menonton film, tak sengaja atau bahkan penasaran dengan film yang diproduksi
oleh DC. Film yang saya saksikan ini agak fiktif, atau bahkan sosok dari film
ini bisa dikatakan Homo Fictus, serta hidup dalam pikiran setiap perempuan
mengenai kebebasan yang dalam hidupnya.
Sebut
saja Harley Quinn sosok dalam cerita fiksi DC selalu menjadi figure kebebasan
bagi para perempuan, bagaimana tidak, mulai dari fashion yang dikenakan olehnya
sampai dengan karakternya menjadi lambing dalam kebebasan bagi setiap perempuan
nampaknya. Alur yang disuguhkan oleh DC ini memuat bagaimana seorang Harley
memiliki latar belakang sebagai seorang psikiater tokoh terkenal yakni Joker.
Kebabasan yang seringkali diperlihatkan oleh Harley menunjukkan yang seharusnya
perempuan dapatkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karakter
chaotic menjadi suguhan yang menarik untuk dianalisis dengan teori feminism,
chaotic yang dimaksud disini ialah bagaimana dirinya mendaklarasikan kebebasan
bagi setiap perempuan, serta melawan stigma masyarakat mengenai perempuan yang
seringkali dianggap lemah dan tidak memiliki power atau seringkali dikenal
dengan konsep Patriarki.
Gerakan yang menyerukan mengenai
penyetaraan hak perempuan terus di dengungkan, dikenal dengan gerakan feminism.
Gerakan ini di dunia sampai sekarang masih terus belanjut dan diserukan oleh
para perempuan di setiap negara di dunia. Lebih spesifik lagi perempuan
menuntut agar setiap hak-hak dalam hidupnya tidak di-diskreditkan oleh pemikiran-pemikiran
maskulinitas. Dunia yang patriarkal seringkali menempatkan posisi perempuan
pada posisi kedua, atau dalam hal ini Simon de Beauvoir menyebutnya dengan
istilah second sex, artinya perempuan ditempatkan pada posisi kedua
setelah laki-laki.
Penempatan perempuan sebagai second
gender, tentunya tidak lepas dari bagaimana konstruksi social dalam
membangun paradigma mengenai perempuan, dalam struktur social, masyarakat
menempatkan perempuan sebagai seseorang yang lemah, tidak berdaya serta tidak
memiliki power. Seperti di paragraph awal , bahwa film Harley Quinn
menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata, yang artinya
sudah seharusnya bahwa dalam dunia ini perempuan pula perlu mendapatkan apa
yang sudah menjadi hak untuk dirinya sebagai seorang manusia.
Dalam pandangan sejarah, tidak
sedikit pula perempuan-perempuan yang menjadi ikon perubahan. Sebut saja Emma
Goldman, Pionir anarkis dari Kekaisaran Rusia yang bermigrasi ke Amerika, di
Indonesia sendiri kita mengenal sosok Kartini, perempuan yang menyerukan
emansipasi perempuan dalam hal Pendidikan. Tanah parahyangan sebut saja Dewi
Sartika, perempuan yang membuat sekolah “Kautamaan Istri” sekolah khusus
perempuan. Berbeda dengan Emma Goldman, Kartini dan Dewi Sartika menempatkan
posisi perempuan dalam bidang Pendidikan, bahwa pada saat itu perempuan tidak
bisa mendapatkan hak Pendidikan sebagaimana laki-laki. Sementara itu Emma
Goldman menjadi seseorang yang sangat berbahaya di Amerika bersama dengan
pasangannya Alexander Berkman, bersama menjadi pionir gerakan anarkis di
Amerika.
Sudah seharusnya bagaimana
masyarakat tidak menempatkan perempuan sebagai second gender, yang pada
dasarnya perempuan pula harus mendapatkan hak-hak dalam hidupnya sebagaimana
laki-laki. Tidak mudah memang mencoba untuk mengubah pola pikir masyarakat
dengan kita menyadari seorang diri, butuh kemampuan bagi masyarakat untuk
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang penting, serta menyadari pula bahwa
patriarki bukan sesuatu yang baik. Langkah nyata ialah dengan memberikan
Pendidikan pada generasi mendatang mengenai Pendidikan gender, agar tidak
terus-menerus patriarki ini hidup dalam masyarakat.
Comments
Post a Comment