![]() |
image from google |
Oleh:
Nur Insani Meilawati
Pendidikan
Sejarah 2017
Perempuan dalam satu sisi sering
dikaitkan dengan suatu istilah yang melekat mengenai posisinya dalam media
yaitu ketidakadilan (Hermes, 2007, hlm. 193). Ketidakadilan terhadap perempuan
dalam lingkungan berangkat pertaka kali dari pengertian adanya ketidakadilan
yang dilakukan oleh manusia terhadap yang non manusia atau dengan kata lain
terhadap alam lingkungan sekitar. Upaya terhadap mendefinisikan perempuan
seringkali di asosiasikan terhadap sifat-sifat alam. Maka secara konseptual,
linguistik dan simbolik teradapat keterhubungan antara objektifikasi yang
manusia lakukan terhadap alam begitupun dengan perempuan. Sebagai salah satu
contoh, masyarakat Indonesia dikonstruksi pemikirannya mengenai alam dengan
konsep “Ibu Pertiwi”, ini berkaitan dengan sifat feminimitas dalam memandang
alam. Sifat feminim terhadap alam dibentuk oleh masyarakat Indonesia dengan
harapan bahwa alam akan membentuk suatu kasih sayang, menjaga, selayaknya ibu
kepada anak. Menurut Karen J.
Warren(dalam Arivia 2006, hlm. 381), hal ini tidak mengeherankan mengingat
masyarakat Indonesia dibentuk oleh suatu sistem nilai, kepercayaan, pendidikan,
tingkah laku, yang berangkat dari suatu kerangka kerja patriarki, yang
melakukan justifikasi terhadap hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan
terhadap perempuan oleh laki-laki.
Warren (Arivia 2006, 381-383) juga
mengungkapkan bahwa cara pikir hierarkis, dualistik (biner), dan menindas
adalah polapikir maskulis yang telah mengancam keselamatan perempuan dan alam.
Seringkali perempuan di”alamkan” artinya bahwa perempuan dengan alam berada
dalam posisi yang sama, yakni posisi objek untuk dikuasai. Perempuan yang di”alamkan”
berarti di asosiasikan dengan bahwa perempuan merupakan suatu obejek yang bisa
digarap selayaknya alam. Sebaliknya manusia pun menganggap bahwa alam bisa
digarap, hutan diperkosa, konsepsi ini terus terjadi dan tentunya pengaosiasian
alam dan perempuan menjadi suatu permasalah yang sangat serius bagi kerangka
berpikir masyarakat yang kian merujuk pada konsep-konsep misoginis dan seksis.
Persoalan mengenai tubuh perempuan
dan alam yang mengalami penindasan melahirkan kajian-kajian yang mendalam dalam
perspektif ekofeminisme. Candraningrum (dalam Susilo dan Kodir, 2016, hlm. 319)
menandaskan bahwa kapitalisme tubuh perempuan dan reduksi alam terjadi secara
bersamaan, sebagai upaya peneguhan dominasi kuasa, ia juga meandang bahwa
persoala penindasan ini sebagai bagian dari politk penundukan karena pemilik
kuasa berusaha melakukan kendali atas tubuh perempuan.
Nilai
Dan Implikasi Dalam Ekofeminisme
Ekofeminisme menawarkan beberapa
penjelasan penting dari kehidupan sosial manusia dan permasalahan ekologi (Zimmerman,
1994, hlm. 233). Ekofeminisme snagat berpotensi untuk membawa wawasan aktivis
perempuan kepada etika lingkungan. Foucault, sebagai filsuf pasca-strukturalis,
menyatakan bahwa tubuh dikuasai oleh medernitas melalui kekuasaan bio-medis.
Dia berargumen bahwa secara khusus tubuh perempuan diamati dan dikendalikan
sedemikian rupa dengan ketat karena tubuh dalam pandangan modernitas merupakan
sarana produksi. Tubuh perempuan dapat dikatakan sebagai sarana produksi bagi
kapitalis, dan menjadi sarana utama dalam wacana modernitas. Lebih lanjut
Foucault menyebutnya sebagai fetisisme tubuh karena penetrasi regulasi wacana
berpusat pada tubuh, utamanya persoalan rahim. Maka dari itu perempuan
seringkali menjadi polisi bagi tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan diawasi
sedemikian rupa, semata-mata untuk memnuhi standar kriteria wacana yang beredar
di masyarakat. Pengawasan ini sering disebut sebagai panoptisisme.
Wacana penindasan dan ketidakadilan
akan terus muncul dalam konstruksi berpikir masyarakat Indonesia, pentingnya
penyadaran mengenai penindasan terhadap perempuan dan obejtifikasi terhadap
alam untuk ditingkatkan. Nilai dan norma yang membentuk konstruksi berpikir
masyarakat indonesia menjadi salah satu penghambat sekaligus sebagai alat untuk
melaggengkan budaya patriarkal. Budaya jawa misalnya, seringkali menganggap
bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki atau dalam hal ini terhadap suami,
budaya seperti dalam feminisme tentunya harus dihilangkan. Feminisme dengan
pemenuhan hak perempuan dan upaya memposisikan perempuan setara dengan
laki-laki adalah perjuangan yang sudah seharusnya dipenuhi oleh kaum laki-laki.
Penyetaraan gender harus sudah mulai dilakukan, mengingat bahwa penindasan
secara budaya, nilai, dan norma akan memunculkan berbagai macam persoalan,
salah satunya persoalan mengenai kekerasan yang tidak terhindarkan. Dominasi
laki-laki terhadap perempuan aka terus tumbuh dan meningkat mengingat nilai,
norma dan budaya terus dijadikan alat untuk menguasai perempuan, baik itu
secara dan lain sebagainya.
Ekofeminisme
Dan Perlawanan Atas Kuasa Tubuh
Persoalan kuasa manusia
terhadap alam dan perempuan akan terus berlanjut. Manusia dengan kehendak kuasa
kan terus tidak merasa tercukupi dengan apa yang dimilikinya sekarang. Langkah
kritis diharidkan oleh ekofeminisme berujung pada kesadaran bahwa utbuh
perempuan dan bumi yang sama-sama rentan dengan kerusakan oleh kebijakan
politik tubuh. Kesdaran mengenai penguasaan diri sepenuhnya perlu ditingkatkan
dalam pemikiran perempuan agar tidak terus menerus perempuan dijadikan sebagai
obejek kuasa dari laki-laki. Dengan perempuan memahami bahwa tubuhnya adalah
hak miliknya (empunya), mereka akan bersama–sama dengan penghuni lain di bumi
untuk menjaga tubuh perempuannya bukan sebagai property yang diatur dengan
obyek kuasa, melainkan sebagai sumber kehidupan bagi generasi selanjutnya yang
akan terus dijaga, sama seperti bumi. Perlunya reduksi ulang mengenai pemikiran
manusia khususnya laki-laki mengenai kuasa terhadpa tubuh perempuan menjadi
suatu hal yang perlu ditegaskan kembali, bahwa kerusakan alam atas kuasa
manusia akan terus melahirkan jiwa-jiwa kapitalis serta kuasa terhadap
perempuan pun menjadi penanda bahwa objektifikasi atas tubuh perempuan dan
alam, akan menjadi hal yang biasa saja dimasa mendatang.
Menurut susilo dan kodir (2016,
hlm. 328) Pada dasarnya, itulah esensi
dari ekofeminisme yang memiliki kaitan erat antara alam dan tubuh perempuan.
Kesadaran terhadap alam dapat juga menghentak menghentak ranah seksualitas
perempuan bahwa upaya penyadaran bagi perempuan berarti juga kesadaran bahwa
tubuhnya adalah miliknya sendiri, bukan milik laki–laki ataupun negara (the
others). Perempuan sendirilah yang berhak menentukan dipakaikan apa tubuh ini,
ataupun kapankah rahimnya digunakan, bahkan hingga kapan rahimnya akan
digunakan. Upaya–upaya ini dalam pandangan ekofeminisme menjadi bagian dari
aksi–aksi penyadaran dalam mengingatkan relasi perempuan dengan alam.
Kesimpulan
Tubuh menjadi entitas tunggal pada
setiap eksistensi manusia, yang berarti sosok tubuh tidak hanya dimaknai
sebagai wujud fisik pada setiap manusia. Hal ini berarti bahwa tubuh tidak
hanya dikenali melalui bentuk tubuh yang dapat kita kenali melalui warna kulit,
bentuk badan, dan lain sebagainya. Tubuh menjadi subyek yang mewakili rasio,
pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran.
Objektifikasi terhadap tubuh
perempuan dan alam terus berlanjut selama manusia menggap bahwa alam yang
dianggap sebagai non manusia serta tubuh perempuan yang dianggap komoditas
untuk melangsungkan produksi dalam pandangan modern. perspektif wancana
kekuasaan Foucault misalnya, tubuh perempuan menjadi obyek para rezim penguasa
untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pengendalian tersebut tidak
dilakukan dengan represifitas negara akan tetapi melalui kontrol atau
pengendalian dan normalisasi.
Sedangkan perspektif ekofeminisme
menilai bahwa bumi dianggap sebagai tubuh perempuan yang keduanya juga
mengalami kerentanan. Kerentanan tersebut diperbaiki dengan aksi nyata
perlindungan bumi dan perempuan dari cengkeraman kuasa–kuasa yang ingin
mengendalikannya.
Daftar Pustaka
Arivia,
Gadis. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Kompas.
Hermes,
Joke.(2007). “Media Representations of Social Culture: Gender” dalam Media Studies: Key Issues and Debates, ed.
Eoin Deveroux. London: SAGE
Publications : 191-210.
Zimmerman,
Michael E. (1994). Contesting Earth’s Future: Radical Ecology and Postmodernity. Barkeley: University of
California Press.
Susilo
dan Kodir. (2016). Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan. JURNAL POLITIK. VOL. 1,
NO. 2. Hlm. 317 – 330.
Comments
Post a Comment